Wednesday 9 December 2015

Wonder-R.J. Palacio

atriaWonder oleh R.J. Palacio

Mulai dibaca: 30 Oktober 2015

Selesai dibaca: 08 November 2015

Judul asli: Wonder

Penulis: R.J. Palacio

Bahasa: Indonesia

Penerjemah: Harisa Permatasari

Penerbit: Atria

Tahun terbit: September 2012

Tebal:  426 halaman

ISBN: 978-979-024-508-2

Format: Paperback

Harga: Rp 42.415 (Bukupedia)

Rating: 5/5

Kuharap setiap hari seperti Halloween. Kita semua bisa memakai topeng setiap saat. Lalu, kita bisa berjalan-jalan dan saling mengenal sebelum melihat penampilan kita di balik topeng. (hal. 104)

August ‘Auggie’ Pullman tahu bahwa dirinya aneh, bukan pada sifatnya, tapi pada tubuhnya. Tepatnya, di wajahnya. Ia terlahir dengan kelainan Mandibulofacial Dysostosis yang membuat kondisi wajahnya tampak tidak biasa, atau lebih tepatnya lagi, rumit. Serumit nama penyakitnya. Saking rumitnya, orang-orang sampai kebingungan dalam menggambarkan wajah Auggie. Orang-orang bahkan membutuhkan keberanian ekstra untuk melihat Auggie lebih lama, yang sebenarnya jarang dilakukan, karena jika bukan karena Auggie yang memergoki mereka sedang menatapnya, atau kakanya Via yang akan langsung menyentak mereka, orang-orang akan langsung memalingkan muka begitu melihat Auggie. Auggie sudah terbiasa dengan hal itu, ia terbiasa dengan sikap orang-orang yang langsung memalingkan muka darinya, atau anak-anak lain yang langsung menjerit atau malah menangis ketika melihatnya. Orang-orang mengasihaninya dan anak kecil lainnya terang-terangan menyebutnya monster, semua reaksi itu sudah biasa ia hadapi. Ibunya pun tahu bagaimana orang-orang selalu berjengit ketika melihat Auggie, tetapi ibunya malah mendaftarkan Auggie ke sekolah. Bukan sekolah di rumah seperti yang dilakukan Auggie selama ini, tapi sekolah umum yang diisi oleh banyak sekali murid-murid dan karyawan lainnya. Auggie tahu orang-orang di sekolah akan terus membicarakannya, ia tahu sepertinya akan sulit baginya untuk mendapatkan teman, ibunya pun pasti memikirkannya, lantas kenapa ibunya tetap mendaftarkannya ke sekolah umum?

P_20151209_190805

Nggak nyangka banget ternyata buku ini sudah ada versi terjemahannya, malah udah cukup lama versi terjemahannya beredar di Indonesia. Sebenarnya sudah lama juga saya mengincar buku ini, dan sudah sering banget pikiran buat beli versi aslinya saja terlintas di pikiran saya, sering banget. Karena covernya yang sederhana, berwarna biru dengan gambar wajah seorang anak laki-laki yang panca inderanya yang berada di kepalanya tidak genap, jadinya penasaran banget, buku ini tentang apa, sih? Kenapa wajah yang digunakan di cover aneh sekali? Saya sebenarnya berharap akan membaca sebuah cerita tentang seorang cowok yang aneh dan hidup dalam dunia fantasi yang penuh dengan—entahlah—sihir (mungkin). It turns out that the story is completely different from what I thought. It’s just a story of a normal boy with complex abnormality, struggling with people’s judgement about him, he went to school everyday, facing other people gazes as if he’s an alien, a monster actually. That’s all.

23302416Ini dia, cover aslinya! Wait, what?! Julian Chapter?!

But, no. There are a lot of important things within the story. Ada banyak sudut pandang yang digunakan dalam buku ini, tetapi tentu saja semua pencerita mengungkapkan cerita tentang Auggie atau kehidupan mereka yang seperti mengelilingi Auggie Pullman. Seperti Olivia Pullman, kakak perempuan Auggie Pullman, ia menceritakan tentang adiknya, tentu saja, tentang perasaannya yang lebih dalam pada adiknya sendiri, tanggapan teman-teman dan orang-orang tentangnya karena memiliki adik yang ‘aneh’, dan bagaimana reaksinya terhadap perkataan orang-orang itu. Lalu ada pandangan dari teman-teman baik Auggie, yaitu Jack Will dan Summer, yang tentu saja menganggap bahwa Auggie atau setidaknya wajahnya sangat aneh ketika pertama kali mereka melihatnya, tapi mereka segera mengetahui bocah seperti apa August Pullman ini. Pandangan dari orang lain, diwakilkan oleh Justin, pacar Olivia.

Awalnya saya berpikir bahwa buku ini adalah buku untuk kalangan anak-anak, tapi ada masalah serius yang dibahas di buku ini, masalah yang menyangkut sisi emosional setiap tokoh yang sedang bercerita. Karena buku ini tentang Auggie, tentu saja Auggie mengambil porsi lebih banyak ketika bercerita tentang kehidupannya termasuk bagaimana perasaannya sebagai bocah yang dianggap aneh oleh orang-orang. Pada dasarnya, kita mengetahui bahwa orang-orang memberikan respon yang seragam ketika melihat wajahnya, terkejut. Dan apakah Auggie merasa sedih, marah, jengkel, atau perasaan buruk lainnya? Sejujurnya, tidak. Mungkin karena Auggie sudah terbiasa dengan semua respon yang diberikan orang lain, sehingga ia tidak merasa sedih, lagi. Mungkin saya sedikit bosan, ya, dengan respon Auggie terhadap reaksi orang-orang setelah melihat wajahnya. Tapi lalu Auggie masuk sekolah, dan nggak mungkin banget kan kalau ia harus menghabiskan bertahun-tahun belajar di sekolah tanpa seorang pun teman? Untungnya, Auggie mendapatkan teman, atau begitu menurutnya. Tapi ketika ia menjadi semakin dekat dengan bocah yang ia kira temannya, ia mengalami hal pahit yang lebih buruk dari reaksi orang-orang terhadapnya, sebuah—emm, semacam—pengkhianatan.

August tidak peduli pada perkataan anak-anak itu, dia sudah menduganya, tapi August sakit hati karena salah seorang dari mereka adalah “sahabatnya”. Aku ingat August pernah beberapa kali menyebut namanya selama beberapa bulan terakhir ini. Aku ingat Mom dan Dan bilang, sepertinya ia anak yang sangat baik, dan mereka senang August sudah memiliki teman seperti itu. (hal. 155-156)

Nah, walaupun terbiasa mendapatkan perlakuan yang ‘kurang’ manis dari orang-orang, pengkhianatan merupakan hal baru bagi Auggie, terlebih lagi ia tidak bisa menceritakan masalah pengkhianatan sahabatnya kepada ibunya yang selalu melindunginya.

Wajahku terasa membara selama aku menuruni tangga. Aku berkeringat di bawah kostumku. Dan aku mulai menangis. aku tidak sanggup mencegahnya. Air mata sudah menggelayut berat di dalam mataku hingga aku nyaris tidak bisa melihat, tapi aku tidak bisa mengusapnya dari balik topeng. (hal. 110)

Nah, yang membuat saya penasaran adalah, sebenarnya bijakkah tindakan ibu Auggie memasukkan Auggie ke sekolah publik? Walaupun Auggie sering menunjukkan bahwa ia tidak apa-apa dengan reaksi orang-orang, toh ia tetap panik ketika mendengar bahwa ibunya akan menyekolahkannya di sekolah umum. Ibunya pasti tahu reaksi orang-orang bahkan apa yang mereka pikirkan terhadap Auggie, dan walaupun anaknya tak menunjukkan reaksi balasan kepada orang-orang yang menatapnya, seharusnya ibunya mengerti bahwa Auggie pasti masih merasa risih dengan tatapan atau pemikiran apapun dari orang-orang. Ketika Auggie tidak sekolah, ia hanya mendapatkan reaksi buruk hanya ketika ia keluar rumah, bandingkan jika ia bersekolah, lima hari dalam seminggu ia harus menemui reaksi yang sama dari orang-orang yang sama yang rasanya nggak akan bisa terbiasa dengan tampangnya, how stressful!

Menurut saya, bagian ketika Olivia Pullman, kakak Auggie, bercerita juga menarik, justru bagi saya ceritanya Olivia inilah yang perlu disorot agak banyak. Jadi, Olivia, atau Via, menceritakan bagaimana sesungguhnya ia melihat adiknya sendiri, bagaimana pendapat orang-orang mengenai dirinya, Olivia Pullman, yang merupakan kakak dari August Pullman yang memiliki kelainan langka di wajahnya, dan bagaimana hal tersebut memengaruhinya. Hal pertama yang saya tangkap adalah, tentu saja instead of merasa jijik, benci, atau apapun lah kepada adiknya sendiri, ia justru marah kepada orang-orang yang menatap adiknya.

Banyak kata yang bisa kugunakan untuk menggambarkan ekspresi pada wajah orang-orang. Dan untuk waktu yang cukup lama aku tidak bisa memahaminya. Aku hanya merasa marah. Marah saat mereka menatap August. Marah saat mereka memalinngkan wajah. “Lihat apa kau?” Biasanya itu yang kukatakan pada orang-orang—bahkan pada orang dewasa. (hal. 120)

Di bagian ini, yang saya dapatkan adalah bukan Olivia yang merasa risih dengan pandangan orang-orang tersebut, yang saya tangkap justru Olivia merasa risih pada adiknya yang menjadi ‘pusat perhatian’. Menurut saya, ke-risih-an Olivia disebabkan karena saat orang-orang mulai menyadari kehadiran adiknya yang aneh, mereka akan berjengit atau mereka akan menatap adiknya sedikit lebih lama karena heran, lalu mereka akan mulai membicarakan adiknya. Berbisik-bisik dengan teman mereka mengenai wajah adiknya yang ‘unik’, bertanya-tanya mengenai apa yang terjadi pada adiknya, dan sebagainya. Menurut saya itulah yang dicemaskan oleh Olivia, dan ia tidak bisa menghentikan hal itu, dan itulah yang membuatnya risih. Satu hal lagi yang serius mengenai perasaan Olivia. Memiliki adik dengan kelainan tentu membuatnya sadar bahwa adiknya membutuhkan perawatan dan pengawasan lebih. Bagaimanapun juga, walaupun kelainan yang nampak hanya pada wajahnya, siapa yang tahu ada kelainan apalagi yang terdapat pada sarafnya, mungkin, atau pernapasannya, mungkin juga, dan itulah mengapa Auggie membutuhkan pengawasan ekstra daripada Olivia. Dan pengawasan ekstra bisa didapatkan Auggie dengan mudah dari orang tuanya. Nah, hal itu yang menjadi sorot utama dari cerita Via ini, perhatian ekstra banyak untuk Auggie menurut saya membuat Via sedikit cemburu terhadap adiknya sendiri. Kecemburuan Via membuat saya sedikit bersimpati padanya, bagaimanapun hal tersebut tidak bisa ia ceritakan pada siapapun. Merasa terpinggirkan itu sangat sulit, I know. That’s why I said it as a serious matter.

Nah, seperti yang sudah saya ungkapkan sebelumnya, walaupun covernya terlihat kekanak-kanakan, dan terasa seperti bahwa buku ini adalah buku bacaan anak-anak, tetapi sebenarnya buku ini mengungkapkan masalah serius. Bagi orang dewasa, buku ini membuat kita untuk lebih menyadari bahwa kita harus bisa menghormati orang lain bagaimanapun kondisi mereka. Bagi orang tua yang mempunyai anak lebih dari satu, buku ini membuat kita untuk memberikan perlakuan yang adil. Apa yang diceritakan Olivia membuat para orang tua menyadari bahwa dalam beberapa hal kita perlu benar-benar menjelaskan mengapa perlakuan mereka terhadap salah seorang anak berbeda dengan anak yang lainnya, selain itu cerita Olivia juga bisa membuat para orang tua untuk mendidik anaknya mengenai toleransi sejak dini. Dan sepertinya hal-hal itulah yang menjadi alasan kuat penulis—atau malah editor buku ini—dalam mencantumkan kutipan “Don’t judge a book by its cover” lalu mengganti kata ‘book’ dengan ‘boy’ lalu ‘it’s cover’ dengan ‘his face’, agar orang-orang nggak hanya memandang orang lain dari wajahnya saja.

4025288_orig

Sejujurnya, ada banyak hal yang membuat saya menangis ketika membaca buku ini, diantaranya tentu saja ketika Auggie mati-matian beradaptasi di sekolah barunya, makan siang sendirian, lalu ketika ia pertama kali mengenal pengkhianatan dari seseorang yang ia kira adalah temannya, lalu ketika sahabatnya yang paling dekat pergi meninggalkannya untuk selamanya, lalu bagian terakhir yang membangkitkan keberanian dan rasa percaya diri Auggie.

“‘Kehebatan,’ tulis Beecher, ‘bukan menjadi seseorang yang kuat, tapi menggunakan kekuatan dengan cara yang benar. ...Orang paling hebat adalah yang kekuatannya mengangkat banyak hati...’”

“‘Orang paling hebat,’” akhirnya Mr. Tushman melanjutkan, “‘yang kekuatannya mengangkat banyak hati berkat pesona hatinya sendiri.’ Tanpa menunda lagi, tahun ini dengan sangat bangga saya mempersembahkan medali Henry Ward Beecher pada murid yang kekuatannya mengangkat paling banyak hati.”

Secara keseluruhan, saya nggak akan bilang bahwa cerita di buku ini bagus, instead, I will say that the story is Beautiful. Ceritanya sungguh indah. Memukau. Dan mengangkat hati saya.

DSCF2391-1Penulis dengan seorang anak dengan—sepertinya—Mandibulofacial dysostosis

3 comments: