Thursday 31 December 2015

Napas Mayat-Bagus Dwi Hananto

Napas Mayat oleh Bagus Dwi Hananto
Mulai dibaca: 10 November 2015
Selesai dibaca: 22 November 2015
Judul: Napas Mayat
Penulis: Bagus Dwi Hananto
Penyunting: Mirna Yulistianti
Desain sampul: Suprianto
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Bahasa: Indonesia
Tahun terbit: April 2015
Tebal: 186 halaman
ISBN:978-602-031-522-5
Format: Paperback
Harga: Rp. 40.800 (Gramedia)
Rating: 2/5
Awalnya, hidup terasa mudah baginya. Ayahnya kaya raya, ia adalah seorang remaja tampan, mudah baginya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, termasuk cinta. Itu sebelum ayahnya bangkrut dan usia tua menggerogoti fisiknya yang bagus. Sekarang ia hanyalah lelaki yang semakin menua, membanting tulang untuk bertahan hidup, dan tanpa cinta, tanpa kekasih, tanpa pendamping. Penuaan membuatnya kehilangan setiap jengkal keperkasaan yang ia miliki di masa mudanya, setiap helai rambut di kepalanya rontok, membuatnya tampak semakin buruk dan menyedihkan. Dan orang-orang pun juga menyadarinya. Dan bukannya membiarkan ia sendirian, rasanya orang-orang malah membuatnya semakin tersudut dan menyedihkan. Ejekan, makian, dan olokan ia dapatkan dari semua orang di semua tempat yang ia datangi. Sekian tahun menerima ejekan, ternyata tak membuatnya terbiasa, ia kejengkelan dan kebenciannya semakin menumpuk, hingga ia tak sanggup lagi menahannya. Ia berpikir untuk membalas perlakuan mereka padanya, memberi mereka pelajaran bagaimana ejekan mereka sangat menyakiti hatinya. Dendamnya sudah kian menumpuk dan hal yang terpikirkan olehnya hanyalah melenyapkan mereka. Ya, membunuh mereka yang telah membuatnya semakin menyedihkan dan terpojok. Tapi ia tak hanya ingin mereka mati, tapi benar-benar lenyap. Ia tak hanya akan membunuh mereka, tapi juga melahap mereka.
Kalau kemarin-kemarin saya membaca buku berjudul ‘Kambing dan Hujan’ yang menjadi Juara I Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2014, buku yang saya baca ini adalah Juara III nya. Kalau sampul buku Juara I didesain dengan unik, semarak dan terkesan ceria, sampul buku ini rasanya sudah menunjukkan cerita yang ada di dalamnya. Sampulnya berwarna hitam, dengan gambar ayam, lalu sapi, lalu manusia, pada tubuh ketiganya juga terdapat garis yang sepertinya menunjukkan tempat di mana kau seharusnya mememotong ketiganya. Ditambah dengan judulnya yang mencantumkan kata ‘mayat’, semakin menguatkan kesan seram pada buku ini.
Mungkin Anda pun bertanya-tanya, jangankan Anda, saya pun masih bertanya-tanya, apa sebenarnya yang saya harapkan ketika membaca buku ini? Cerita macam apa yang ingin saya baca ketika membaca buku ini? Atau pertanyaan yang lebih mendasar, apa sih sebenarnya yang mendasari saya dalam membeli buku ini? Ketika melihat buku ini terpampang di rak buku suatu toko buku, tentu saja saya penasaran. Saya berpikir bahwa buku ini akan menceritakan tentang seorang kanibal seperti Sumanto atau Rian dari Jombang, pokoknya seseorang yang terobsesi dengan gagasan bahwa memakan daging manusia akan membuat si pemakan somewhat unbeatable. Lalu, ketika membaca beberapa halaman dari bab pertama, saya mengubah harapan saya, saya berpikir bahwa buku ini akan menceritakan seorang kanibal yang membunuh karena sakit hati, mungkin seperti kisah milik Dr. Hannibal Lecter. Atau mungkin saja seperti Dexter, tapi Dexter bukan kanibal dan saya pun meminggirkan sosok Dexter. Dan mengenai kemiripan tokoh ‘aku’ dengan Dr. Hannibal, saya dengan sedih menyatakan bahwa mereka berdua sangat tidak mirip. Tokoh aku not even close to Dr. Hannibal ‘Canibal’ Lecter yang karismatik dan somewhat memikat.
Tokoh aku dalam buku ini menurut saya sedikit agak sakit jiwa.
Disetir oleh rasa sakit hati, tokoh aku membunuh orang yang menyakitinya itu, tak hanya itu ia juga memakan orang itu. Tak disangka setelah pengalaman pertamanya memakan daging manusia, ia—seperti—ketagihan dengan daging manusia, ia ingin memakan lagi daging manusia lainnya, beserta organ-organ mereka. Well, rasanya Dr. Hannibal tidak melakukan itu ketika membunuh orang-orang yang merupakan targetnya. Padahal, masalah dan pengalaman buruk yang dihadapi oleh Dr. Hannibal jelas jauh lebih mengerikan dan lebih depresif, atau mungkin karena Dr. Hannibal masih terlampau cerdas, sehingga akal sehatnya masih berjalan, sehingga ia hanya membunuh targetnya dan memakan mereka seperlunya saja? Sedangkan tokoh aku, ia bisa saja nampak sebagai seseorang yang menyeramkan karena membunuh dan memakan para korbannya, tapi menurut saya ia adalah orang yang lemah karena membiarkan keadaan mengalahkannya. Ia lemah karena membiarkan kejatuhan ayahnya membebani hidupnya, ia lemah karena tidak mau melawan. Ia lemah karena membiarkan olokan orang-orang mengendap di hatinya, tembok semangatnya amat mudah ditembus, sehingga ejekan orang-orang dapat dengan mudah menghancurkan mentalnya dan membuatnya sedikit sakit jiwa.
Seorang bocah mengolok-olok bentuk tubuhku. Kuntet. Itulah yang ia sebut bagi diriku yang lebih kecil dari anak-anak sebaya pada saat itu. Tak terima ejekan itu, aku menyerang bocah yang dua kali lebih besar daari tubuhku itu. (hal. 7)
Mengenai gaya bercerita yang digunakan dalam buku ini, ceritanya diberikan melalui sudut pandang tokoh aku. Tentang bagaimana ia menjalani hari-harinya, apa pekerjaannya, tentang orang-orang di sekelilingnya dan bagaimana mereka memperlakukannya, semuanya diceritakan dalam gaya bahasa tokoh aku yang terkesan amat sangat serius, mungkin untuk menambah kesan gelap dari diri pencerita. Tapi, bukannya mendapat kesan serius dari diri pencerita, saya malah menangkap bahwa pencerita benar-benar ngelantur. Ia menceritakan kegiatannya sehari-hari, yang sebenarnya lebih cocok jika menggunakan bahasa sehari-hari, tapi ia malah menggunakan bahasa yang terlampau serius, sehingga malah memberikan gambaran yang kaku dari diri pencerita.
Ini dimana? Kosong. Tahun-tahun berlalu hingga aku tak sadar telah menjalaninya. Siapakah aku? Manusia selalu terkejut melihat dia berubah dari waktu ke waktu. Hanya buram dan titik-titik semut di televisi di dalam tubuh lama dan baru ini. (hal. 1)
Mungkin hal itulah yang membuat saya kebosanan dengan buku ini, gaya bercerita yang kaku ditambah begitu sedikitpercakapan yang ada di buku ini. Percakapannya sendiri lebih berperan sebagai pelengkap dan pemanis saja. Kalau biasanya informasi-informasi baru didapatkan pembaca melalui percakapan antar tokoh, sementara narasi lainnya hanya sebagai pendukung yang mengungkapkan latar, kondisi, dan situasi yang dialami oleh tokoh, dibuku ini narasi dan deskripsi yang diungkapkan pencerita kepada pembaca lebih mengambil peran, lalu narasi tersebut diulangi lagi dalam percakapan antara si pencerita dengan tokoh lainnya. Nah, menurut saya kurangnya percakapan inilah yang menjadikan ceritanya agak sedikit lemah dan membosankan. Rasanya nggak ada sesuatu pun yang kuat ataupun menonjol dari cerita ini selain kehidupan tokoh aku yang menyedihkan, suram, dan membuatnya gila. Nah, mengenai cerita gila dari aksi kanibalisme tokoh aku. Sayang sekali, rupanya hanya ada sedikit sekali aksi yang dilakukan oleh aku, sedikit tapi cukup mengungkapkan kegilaan tokoh aku. Setiap kegilaan yang dilakukan, sayangnya, diceritakan dengan detail, yang pastilah membuat pembaca sedikit jijik. Seingat saya, saya nggak pernah memakan jeroan, entah itu hati, babat, paru, atau otak, dan saya pun juga nggak cocok dengan rasa jeroan-jeroan tersebut tak peduli sepintar apa seorang koki mengolah jeroan-jeroan tersebut. Membaca bagian bahwa pencerita memakan semua jeroan korban yang dibunuhnya, bahkan kadang mentah-mentah, membuat saya sedikit jijik. Oke, saya mengagumi imajinasi penulis dalam menciptakan aksi gila ini, penulis rasanya beneran niat membuat pembaca jijik dengan apa yang dilakukan tokoh aku terhadap korbannya. Entah, sebenarnya saya mengharapkan ada lebih banyak aksi gila dari tokoh aku, sehingga ia tak hanya tampak sebagai pria yang menyedihkan tapi menjadi semacam teror bagi orang-orang atau saya mengharapkan cerita yang lebih baik dari ini.
Kulkas terisi penuh oleh daging dan jeroan. Setelah bersih semua tanpa meninggalkan jejak di apartemen Mama Besar, aku kembali. Kubersihkan jeroan di kamar mandi. Kukeluarkan sisa-sisa pencernaan di dalam usus. Sampai berkali-kali kucuci hingga bersih. Bau tinja yang busuk kubersihkan dengan wewangian hingga tidak berbau lagi. Panci kusiapkan guna merebus bagian jeroan itu. (hal. 23)
Sebenarnya, kalau disamakan, atau dipaksa disamakan, tokoh aku dalam buku ini mirip dengan Dexter Morgan, detektif spesialis percikan darah yang juga hobi memutilasi. Tapi orang-orang yang dipilih Dexter adalah orang yang korup. Persamaan mereka berdua adalah, keduanya menghabisi korbannya dengan memotong-motong korban mereka, hanya saja yang satu terlalu gila sehingga melenyapkan korbannya dengan memakan mereka sedang yang satu lagi terlalu normal sehingga korban yang sudah terpotong dibuang ke laut untuk disantap oleh makhluk-makhluk laut. Yang kedua, mereka sama-sama menyimpan sebuah kenang-kenangan dari korbannya, bedanya yang satu terlalu gila sehingga menyimpan kepala si korban sedang yang satu terlalu cerdik dengan hanya menyimpan setetes darah milik korbannya. Yang terakhir, keduanya sama-sama memiliki semacam alter ego, bedanya adalah yang satu alter egonya seperti hidup di luar tubuh—sehingga nampak seperti Ryuk atau Rem dalam Death Note—dan yang satunya hidup di dalam tubuh.
Bagian kepala adalah yang kusisakan tanpa kupotong-potong menjadi kecil. Rambut, telinga, mata yang tadi masih melotot dan kini agak sayu, serta wajah kosong itu tetap kusimpan. Gairah gila mengawetkannya dalam toples besar yang akan kubeli esok nanti. (hal. 24)
tokoh Dexter yang diperankan oleh Michael C. Hall dalam serial tv berjudul sama
Satu lagi bagian yang menggelitik, yaitu bagian yang menunjukkan bahwa tokoh aku memiliki sex-drive yang, ummm, cukup tinggi, karena ada banyak sekali cerita yang mengungkapkan bahwa tokoh aku melakukan seks. Sebenarnya cerita beginian mampu sedikit mencerahkan suasana ketika membaca, kalau dikemas dalam bahasa yang luwes dan santai ditambah dengan kata-kata yang jenaka. Nah, dalam buku yang kata-katanya terlampau serius dan kaku ini, adegan yang itu malah terbaca sangat cabul, menurut saya. Dan kenapa penulis sering banget menuliskan ‘menara kebahagiaan’? benar-benar cabul, bagi saya.
Oke, jadi secara keseluruhan, apakah buku ini unik? Well, saya jarang mendapati penulis Indonesia mengarang cerita kanibalisme, jadi oke, saya anggap buku ini unik. Apakah layak menyandang titel juara III? Entah cerita lainnya yang dikirimkan ke sayembara tersebut seperti apa, saya belum baca buku yang menyabet juara II, jadi untuk menempati posisi ketiga, saya rasa memang pantas. Melihat dari usia penulis yang masih tergolong sangat muda, saya berharap penulis tidak akan berhenti melahirkan karya-karya horor yang beragam, yang mampu menyemarakkan dunia literasi Indonesia.

1 comment:

  1. makasih atas infonya sangat membantu,kunjungi http://bit.ly/2QT64Kk

    ReplyDelete