Tuesday 10 November 2015

Entrok-Okky Madasari

7876993Entrok oleh Okky Madasari

Mulai dibaca: 05 Oktober 2015

Selesai dibaca: 09 Oktober 2015

Judul: Entrok

Penulis: Okky Madasari

Ilustrasi dan desain sampul: Restu Ramaningtyas

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: April 2010

ISBN: 978-979-225-589-8

Tebal: 282 halaman

Bahasa: Indonesia

Format: Paperback

Harga: Rp 45.000, 00

Rating: 3/5

Setiap hari sejak subuh, Marni dan ibunya akan pergi ke pasar untuk mencari pekerjaan dari para pedagang, pekerjaan apapun asal dapat dikerjakan oleh wanita. Tetapi biasanya ibunya mendapatkan pekerjaan sebagai pengupas kulit singkong, upahnya pun ya singkong-singkong tersebut. Marni pun tak tahan lagi, ia harus mendapatkan sepeser-dua peser uang, untuk membeli sebuah entrok (Bra) bagi dadanya yang sudah mulai tumbuh. Demi membeli sebuah entrok—yang masih tergolong barang mewah baginya—Marni rela bekerja sebagai kuli. Ia membantu ibu-ibu membawakan belanjaan mereka ke angkutannya, hasilnya ia menerima beberapa keping uang. Hingga akhirnya Marni mampu membeli sebuah entrok. Setelah berhasil memiliki entrok walau hanya satu buah, Marni tidak langsung berhenti menjadi kuli, Marni tetap nguli, membantu ibu-ibu membawakan belanjaannya, tetap menerima beberapa keping uang yang akhirnya ia tabung, untuk membeli barang-barang lalu dijual kembali seperti yang dilakukan Nyai Dimah, ucap Marni kepada ibunya. Ibunya tidak langsung menyetujui, tapi Marni pun juga tidak mundur, Marni mewujudkan keinginannya untuk menjadi tengkulak, awalnya hanya berjualan sedikit sekali, tapi lama-kelamaan barang yang dijual makin banyak, hingga ia mampu membeli rumah sendiri. Tetapi, seiring dengan kekayaan dan kemakmurannya yang semakin besar, ternyata masalah yang dihadapi Marni juga semakin membesar, mulai dari aparat yang selalu minta jatah uang keamanan hingga anak tunggalnya yang menentangnya habis-habisan.

P_20151109_110844

Oke, sinopsis yang cukup panjang, ya. Maafkan ketidakmampuan saya dalam membuat ringkasan buku secara ringkas, semoga tidak ada kalimat yang dianggap spoiler dari sinopsis di atas, hehehe.

Saya akan memberikan opini mulai dari sampulnya. Dengan posisi horisontal, tercetak secara besar-besaran judul buku ini ‘ENTROK’ dan gambarnya yang menimbulkan rasa penasaran bagi yang melihat, yaitu seseorang (sengaja menggunakan kata ‘seseorang’ karena sebelum membaca buku ini kita tentu nggak tahu tokoh di sampul ini sebenarnya pria ataukah wanita) yang melepas entrok atau behanya. Hipotesis awal saya adalah buku ini akan bercerita mengenai seseorang yang terjun ke dunia pelacuran atau hiburan malam atau sejenisnya, seseorang itu bisa aja wanita yang sangat miskin sehingga ia harus membeli entrok untuk menarik pelanggannya, atau mungkin juga seorang pria yang harus menjadi waria lalu ia juga diharuskan memiliki sebuah entrok, tapi rupanya anggapan saya salah besar. Banget. Entrok memang diceritakan sebagai sebuah benda yang harus dimiliki oleh seorang wanita, tapi entrok ini harus dimiliki karena memang si wanita ini a.) membutuhkan entrok karena dadanya yang mulai tumbuh, b.) ia tidak mau dadanya tumbuh ­klewer-klewer seperti dada emaknya dan c.) iri karena teman terdekatnya memiliki sebuah entrok, dan sebenarnya memang karena iri dengan teman dekatnya, sih.

Lalu cerita dibuka dengan monolog dari seseorang yang juga ada dialog dengan seseorang lagi yang sepertinya ibu si pencerita yang sepertinya kurang waras. Dari cerita ini saya masih agak bingung dengan buku ini. Akan bercerita tentang apa, sih, buku ini, kenapa pembukanya terasa sangat memilukan?

Untungnya, epilognya tidak terlalu panjang, sehingga cerita berlanjut ke masa kecil Marni. Berawal dari sebuah entrok, Marni akhirnya menjadi semacam pedagang yang sukses, kaya raya, makmur, dan sangat jaya. Ia bahkan menjadi seseorang yang juga memberikan pinjaman dengan bunga dan dapat dilunasi dengan cara dicicil pada orang-orang yang membutuhkan pinjaman. Saya rasa hebat banget, ya, sebuah entrok dapat mendorong seseorang untuk mendapatkan kejayaan yang lebih besar lagi, bukan mendorong sih, mungkin lebih tepatnya sebagai pemicu. Awalnya Marni menginginkan uang untuk mendapatkan sebuah entrok, lalu Marni menginginkan hal yang lebih besar dan hal yang lebih memakmurkan. Satu hal yang patut kita contoh dari sosok Marni yang hanyalah wanita ndeso adalah sifatnya sebagai pekerja keras dan usahanya yang selalu 100% demi menyejahterakan hidupnya, kedua hal itu lah yang tidak membohonginya di kemudian hari, ia sukses akhirnya. Juga mengenai doa-doa yang ia panjatkan kepada leluhurnya dan bukan kepada Tuhan. Marni memberi kita sebuah gambaran mengenai seorang wanita kampung yang miskin, yang benar-benar mempunyai suatu tekad untuk memiliki sesuatu. Marni menunjukkan kepada kita bahwa wanita kampung pun bisa sukses jika ia benar-benar berusaha dan tidak mudah menyerah. Marni juga menunjukkan pada kita bahwa sukses yang ia raih tidak hadir begitu saja, untuk memperoleh segala kekayaan itu Marni pun benar-benar harus menapaki dari anak tangga yang paling bawah, ia merintis usahanya pelan-pelan sekali tetapi pasti dan stabil, tak sekalipun Marni berhenti, setiap hari selalu berdagang. Hingga, boom! Akhirnya Marni sukses. Semua juga tak lepas dari doa yang ia panjatkan. Satu lagi, walaupun Marni masih menyembah leluhur, tapi dalam meraih kejayaannya Marni juga hanya mengandalkan usahanya sendiri, tidak mengandalkan tangan dukun atau sejenisnya. Intinya, Marni menunjukkan pada para pembaca bahwa wanita kampung yang tidak sekolah pun juga bisa sama gigihnya dalam mengejar kesuksesan, Marni mempunyai jiwa yang kompetitif dan tidak mau kalah.

Oke, sepertinya cukup membahas tokoh Marni, mari membahas hal yang lebih penting dari buku ini. Dalam sinopsis yang ada di sampul belakang buku, disebutkan karakter Marni yang masih menyembah leluhur, sedangkan anak perempuannya Rahayu yang disekolahkan sampai universitas menyembah Tuhan yang satu. Sinopsis di sampul belakang menunjukkan bahwa perbedaan itu seperti membuat mereka sangat bermusuhan, kepercayaan seakan merentangkan sebuah jarak yang sangat lebar diantara keduanya. Intinya, buku ini seakan-akan menceritakan bahwa perbedaan adalah masalahnya. Nah, di sinilah saya akan memberikan opini saya. Oke, karakteristik tokoh di buku ini memang beragam sekali, tapi menurut saya perbedaan bukan masalahnya, deh, saya sih lebih melihat bahwa ada banyak banget orang-orang yang nyinyir dan sirik terhadap kesenangan orang lain. Tapi bagaimanapun juga perbedaan rasanya masih sulit diterima oleh masyarakat manapun, tidak peduli sekeras apapun mereka meneriakkan bahwa mereka menentang rasisme, diskriminasi ras, kulit, dan sebagainya, mereka toh tetap tidak bisa menerima perbedaan sekecil apapun. Memang bukan perbedaan itu yang salah. Kalimat selesai, tak akan melanjutkan.

Menurut saya sorotan utamanya bukan di perbedaan ataupun reaksi orang-orang terhadap perbedaan tersebut, menurut saya sorotan utamanya adalah di latar waktu yang digunakan, yaitu dari tahun 1960-1994, tahun ketika suatu oknum tertentu benar-benar berjaya dan berkuasa. Diceritakan betapa kejamnya para oknum itu terhadap rakyat-rakyat kecil, tugas mereka yang seharusnya melindungi malah jadi menindas dan menggiling. Tipikal tulisan para jurnalis yang hidup dan merasakan kehidupan yang berat pada masa itu. Walaupun begitu sukses membuat saya geram, sih, ya, terutama di bagian yang membahas masalah PKI, tetapi sepertinya ceritanya, ya udah, begitu-begitu saja, mirip dengan buku lainnya yang ceritanya masih berkaitan dengan masalah politik yang itu.

Topik lain, yaitu mengenai gaya bahasanya. Gaya bahasanya sih sebenarnya sederhana, sih, mudah ditangkap lah. Setidaknya tidak membuat pembaca kebingungan. Yang menarik menurut saya adalah, penulis membuat para tokoh yang sedang bercerita ini sedemikian rupa sehingga pembaca merasa seperti ada di samping si tokoh dan mendengar curahan hati si tokoh. Rasanya seperti mengunjungi sahabat lama, duduk di sofa tua di ruang tamunya, sesekali menyeruput teh panas dari cangkir porselen, sambil mendengarkan semua cerita yang belum sempat ia beritahukan kepada saya.

...Anakku sarjana lho, insinyur pertanian. Pasti orang-orang pabrik gula akan mau menerimanya. Eee... kok malah milih jadi gundik. Hus! Sudahlah... (hal. 167)

Marni misalnya, gaya berceritanya benar-benar menggambarkan seorang ibu-ibu yang sudah mengalami sejuta peristiwa, kadang nyinyir, kadang memelas, kadang geram, benar-benar seperti bercerita pada sahabatnya. Sedangkan Rahayu, anak Marni, kadang-kadang ketika bercerita seperti seorang narator program acara reality-show-yang-direka-ulang, tetapi Marni tidak membacakan kisah hidup orang lain melainkan kisahnya sendiri yang kemudia diperagakan oleh orang lain untuk ditampilkan di tv.

Di sinilah aku sekarang. Tenggelam di antara orang-orang yang sedang memasrahkan diri pada jalan kebenaran. Semuanya sama, tak ada yang ingkar, tak ada yang berdosa. Kami semua belajar dan berlomba-lomba untuk mendapatkan surga. Di tempat inilah, aku seperti tengah mencuci segala dosa masa laluku, memohon ampun karena tak bisa membawa orangtuaku sendiri, orang-orang yang ada di dekatku, menuju jalan yang seharusnya. (hal. 211)

Walaupun terlihat sangat menarik, menurut saya alurnya masih terbilang terlalu lambat. Kedua tokoh memang menceritakan masalahnya, tapi entahlah rasanya masih terlalu bertele-tele. Entahlah mungkin saya saja yang masih tidak cocok membaca novel yang menyinggung-nyinggung masalah politik seperti ini, atau saya yang sudah cukup banyak membaca buku-buku bertema seperti ini tapi sesungguhnya ceritanya, ya, sama saja. Menggambarkan kejamnya beberapa oknum yang berkuasa, ada yang sangat tertindas, dan sebagainya. Well, mungkin saya perlu beristirahat dari buku-buku yang bertema serupa, supaya tidak terlalu bosan.

Sebenarnya ada banyak buku-buku yang sudah dihasilkan oleh penulis, tapi saya masih belum mengetahui topik utama buku-buku tersebut. Berkaca dari buku ini, mungkin ya, saya butuh waktu rehat sebentar sebelum saya kembali membaca buku-buku penulis ini.

No comments:

Post a Comment