Monday 2 November 2015

Di Kaki Bukit Cibalak-Ahmad Tohari

22454922Di Kaki Bukit Cibalak oleh Ahmad Tohari

Mulai dibaca: 16 September 2015

Selesai dibaca: 17 September 2015

Judul: Di Kaki Bukit Cibalak

Penulis: Ahmad Tohari

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: Juni 2014

ISBN: 978-602-030-513-4

Bahasa: Indonesia

Format: Paperback

Tebal: 176 halaman

Harga: Rp 40.000,00 (Bukupedia)

Rating: 3/5

Lurah Desa Tanggir yang baru saja terpilih dirasa Pambudi, pemuda berusia 24 tahun, tidak akan membawa perubahan yang signifikan terhadap kemajuan Desa Tanggir. Lurah yang baru memiliki watak yang sama saja seperti lurah yang lama, sama-sama curang! Hal itu dirasakan sendiri oleh Pambudi sebagai pemuda yang bekerja di koperasi desa sebulan setelah pengangkatan lurah baru tersebut, Pak Lurah baru pun juga benar-benar hanya memakmurkan kepentingan perutnya sendiri, sama sekali tidak peduli dengan penduduk Desa Tanggir lainnya. Berawal dari kesadaran Pambudi untuk membantu wanita tua miskin yang ternyata mengidap kanker, Desa Tanggir semakin dikenal oleh masyarakat di luar desa, bahkan di luar kota, kebaikan hati Pambudi semakin dikagumi banyak orang, tapi hal tersebut malah membuat Pak Lurah beserta petinggi-petingginya geram. Di mata orang tampak sekali bahwa mereka adalah perangkat desa yang tidak peduli dengan rakyatnya! Akibatnya Pambudi semakin dibenci oleh Pak Lurah beserta antek-anteknya, hingga menyebabkan ia menyingkir ke luar kota. Tetapi, walaupun tersingkir, perlawanan Pambudi untuk menjatuhkan kepala desa curang tersebut terus berjalan.

2015-11-02-18-38-46_deco

Inilah novel pertama yang saya baca dari penulis yang baru saya kenal melalui cerpen-cerpennya. Dari cerpen-cerpennya saya mengenal penulis bahwa pakem yang beliau gunakan adalah latar mengenai orang-orang pedesaan dan orang-orang miskin yang lugu, polos, dan bodoh, bahasanya yang sangat sederhana namun lugas membuat karya-karyanya mudah dimengerti, karya-karya beliau yang telah saya baca hanya sekadar menggambarkan keadaan sekitar yang awam ditemui oleh masyarakat, tak ada pesan-pesan lain yang harus ditangkap oleh pembaca. Di buku yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1994 ini, walaupun isinya sedikit bergeser dari pakem yang biasanya penulis gunakan, ceritanya sedikit banyak tetap menggambarkan keadaan dan kondisi dari orang-orang pedesaan, hanya saja masalahnya terasa lebih kompleks, lebih serius, dan lebih dalam. Mungkin karena cerita ini hadir dalam sebuah novel dan bukan hanya sekadar cerita pendek. Tokoh utamanya, walaupun masih tokoh yang lahir, tumbuh, dan besar di desa dan merupakan wong ndeso, digambarkan lebih pintar dan cerdas.

di_kaki_bukit_cibalakCover Di Kaki Bukit Cibalak tahun 1986

Konflik dimulai ketika seorang wanita tua miskin yang tengah sakit bernama Mbok Ralem meminta tolong pada Pambudi untuk meminta pinjaman beras untuk dijual kembali sehingga ia bisa mempunyai uang untuk berobat ke kota, Pambudi kebingungan karena Mbok Ralem masih punya hutang beras yang belum dibayar, mereka pun menemui Pak Lurah untuk meminta kemurahan hati, syukur-syukur jika mereka mendapatkan bantuan langsung berupa uang tunai untuk berobat. Seperti yang sudah bisa ditebak oleh Pambudi, Pak Lurah jelas menolak. Dari situlah Pambudi menghadapi masalahnya yang cukup berat hingga membuatnya tersingkir dari tempat tinggalnya sendiri. Mengenai kebaikan hati Pambudi dan keburukan sikap Pak Lurah yang diketahui oleh masyarakat luas, hal tersebut karena kecerdikan Pambudi yang meminta bantuan kepada sebuah koran untuk meminta kemurahan hati pembacanya agar dapat menyumbangkan sebagian hartanya untuk membantu pengobatan Mbok Ralem. Rasanya sulit memercayai hal tersebut dilakukan oleh seorang pemuda dari desa yang hanya lulusan SMA, bukannya saya bermaksud rasis atau apa sih, hanya saja saya takjub aja dengan pemikiran Mas Pambudi yang—jelas—dalam kondisi yang sangat kecepit masih bisa memikirkan untuk mencari bantuan melalui media cetak. Kalau saya yang menggantikan Pambudi, mungkin saya akan menangis histeris nggak tahu harus ngapain dan paling banter malah ngemis. Okay, terdengar depresif sekali. Saya nggak mengerti gimana seorang Pambudi ini ketika masih mengenyam bangku SMA, atau seberapa sering ia membaca koran dan buku-buku pengetahuan lainnya, yang saya tangkap Pambudi adalah pemuda yang cerdas. Tak hanya luhur budinya, tapi ia mampu memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam membantu seorang warga miskin. Dan, saya rasa, di situlah poin dari buku ini. Penulis sudah memberikan ciri khasnya dalam menghasilkan karya (menggunakan latar pedesaan dan tokoh yang ndeso), tetapi penulis juga ingin menyampaikan pesan agar pembaca menanamkan sikap luhur dan welas asih seperti Pambudi. Tak hanya itu, dari buku ini saya menangkap pesan lain juga yaitu, tak peduli bagaimana kondisi ekonomimu, ilmu ada di mana-mana, sesungguhnya pengetahuan mudah didapatkan, penulis rasanya ingin mengajak pembaca untuk lebih open-minded, lebih peduli, dan lebih banyak menangkap lebih banyak iinformasi, wawasan, ilmu, dan pengetahuan.

Okay, sesungguhnya saya agak terkejut karena ternyata saya menyelesaikan buku ini hanya dalam satu hari. Dibandingkan dengan buku sebelumnya—dari penulis yang sama—buku ini jelas lebih tebal. Tak hanya itu, alurnya pun saya rasa berjalan sangat membingungkan. Well, sebenarnya tidak juga sih, oke saya akan mencoba menjelaskan apa yang saya rasakan dari alur buku ini dengan sebaik-baiknya. Sebenarnya kalau dilihat secara keseluruhan kejadian yang dituliskan di buku ini sudah bisa dibilang runut, ya, dari A menuju B sampai ke C dan berakhir ke D, sudah jelas dan memang runut, dengan tokoh utamanya adalah Pambudi. Tetapi di tengah perjalanannya Pambudi, penulis seringkali menyisipkan cerita yang lain dari tokoh yang lain, yang masih berada di sekitar lingkaran kehidupan Mas Pambudi. Nah ketika menceritakan tokoh lain sampai selesai, penulis kembali menceritakan Pambudi, walaupun sebenarnya kejadiannya bisa dikatakan runut, saya masih merasa ada detail yang hilang dari kisah Pambudi, dan itu banyak sekali saya temukan di bagian lainnya. Rasanya seperti tidak lengkap, saya terus bertanya-tanya, ‘bagaimana bisa tiba-tiba sudah sampai di sini?’, ‘ada cerita yang saya lewatkan, deh, sepertinya.’ Semacam itulah. Mungkin penulis menghindari memberikan penjelasan yang mendetail karena takut bahwa pembaca akan kebosanan dengan alur yang lambat, tapi saya rasa jika caranya mempercepat alur dengan menghilangkan detail yang—sebenarnya—dibutuhkan oleh pembaca, saya rasa pembaca pun akan menjadi bingung. Saya sebenarnya nggak suka membaca sebuah cerita yang alurnya membosankan, bukan, bukan berarti saya nggak suka dengan alur yang lambat karena ada banyak detail yang diberikan, semuanya tergantung oleh pembawaannya, kalau penulis memberikan banyak detail sehingga memperlambat alur tetapi ceritanya dibawakan dengan bagus, saya bisa menyukai alur yang lambat. Tetapi, jika penulis mempercepat alur dengan menghilangkan cerita-cerita yang seharusnya bisa dinikmati oleh pembaca, wah, si penulis memiliki andil dalam menambah kerutan di dahi pembacanya kalau begitu, karena membuat pembaca kebingungan.

Selain itu, saya juga sedikit sebal dengan ending-nya. Menggantung, memang. Menggunakan penutup yang menggantung saya rasa emang bagus, ya, semacam mempermainkan perasaan pembaca, tapi di buku ini rasanya penutupnya tidak bisa saya terima, saya benar-benar tidak bisa menebak akan sampai di mana Pambudi dengan pasangannya, dan sebagainya. Mungkin karena saya terbiasa membaca cerpen-cerpen karangan penulis, sehingga ketika membaca cerpen beliau yang sedikit diregangkan ini, saya semacam merasa bosan. Mungkin juga belum paham betul ciri khas penulis dalam menciptakan cerita-cerita. Tapi novel ini, beserta penilaian saya terhadap buku ini tidak akan menghentikan saya dalam mengenali karya-karya penulis lebih jauh dan lebih banyak.

No comments:

Post a Comment