Tuesday 24 November 2015

Because She Can (Bos dari Neraka)-Bridie Clark

5984063Because She Can (Bos dari Neraka) oleh Bridie Clark

Mulai dibaca: 09 Oktober 2015

Selesai dibaca: 20 Oktober 2015

Judul asli: Because She Can

Judul terjemahan: Bos dari Neraka

Penulis: Bridie Clark

Penerjemah: Siska Yuanita

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: November 2008

Tebal: 390 halaman

Bahasa: Indonesia

Format: Paperback

ISBN: 978-979-224-227-0

Rating: 2/5

Ketika kepala editornya di Peters & Pomfret memutuskan untuk pensiun dini, Claire Truman tidak bisa menahan diri untuk bersedih. Kepala editornya begitu baik padanya dan amat menyayanginya seperti anaknya sendiri. Claire yang bersedih hati dengan kepergian kepala editornya itu malah ikut-ikutan pergi dari P & P. Beruntung, deh, pacar Claire kenal dengan editor paling top dari penerbit paling unggul di New York, Vivian Grant, sehingga pacar Claire dapat memberikan akses untuknya bertemu dengan editor nomor satu di New York itu. Dan beruntung sekali, Claire tak harus menunggu lama untuk bisa bertemu dengan Vivian, karena Vivian langsung menelepon Claire untuk memintanya bertemu di kantornya di Grant Books. Dan, tak butuh waktu lama juga bagi Claire untuk memulai bekerja di Grant Books, dua minggu setelah pertemuannya dengan Vivian ia langsung diterima sebagai editor! Dan Vivian melipattigakan gajinya! Wow, dewi fortuna benar-benar berpihak pada Claire, dan Claire senang sekali! Tapi tidak dengan teman-teman Claire, karena mereka mendengar desas-desus mengenai bos seperti apa Vivian Grant itu, tak ada pegawainya yang benar-benar betah bekerja dengan Vivian, mereka berhenti atas kemauan sendiri atau dipecat oleh Vivian. Belum lagi mengenai ucapan-ucapannya yang bisa langsung merobohkan mental, atau kelakuan-kelakuannya yang nyeleneh.

2015-11-24-18-30-08_deco

Membaca judul terjemahannya, ‘Bos dari Neraka’, saya jadi teringat dengan buku berjenis sama yang saya baca ketika saya duduk di bangku SMA, saya lupa judul terjemahannya, tapi judul aslinya ‘The Devil Wears Prada’. Pasti sudah nggak asing dengan buku yang saya sebutkan barusan, secara filmnya juga sudah tayang jauh-jauh-jauh hari banget. Dan, pastinya yang membaca kedua buku tersebut pasti juga setuju bahwa kedua buku ini mengingatkan akan satu sama lain, tokoh wanitanya sama-sama bekerja di perusahaan yang berhubungan dengan jurnalistik, dan sama-sama mempunyai bos yang galak. For your information, buku ‘The Devil Wears Prada’ terbit pertama kali pada Januari 2003, sedangkan buku ini baru terbit empat tahun setelahnya, jadi entah ya, apakah buku ini memang terinspirasi oleh buku pendahulunya atau bagaimana, tapi kalau dilihat dari judulnya, sih, memang terlihat mirip sekali.

Berbicara mengenai bos yang galak, sesungguhnya antara Miranda Priestly (bos dalam ‘The Devil Wears Prada’) dengan Vivian Grant sangat berbeda, dalam  banyak hal. Miranda mungkin galak, tapi Miranda lebih cocok dikatakan perfeksionis, sesungguhnya sikapnya selalu tampak cool dan tidak meledak-ledak, tetapi ia memaksa setiap karyawannya untuk menghasilkan sesuatu yang sempurna, sangat sempurna, dan di situlah para karyawan mendapatkan tekanannya. Sedangkan Vivian Grant, saya nggak akan bilang bahwa ia perfeksionis, ia lebih seperti seseorang yang sangat berorientasi pada keuntungan. Rasanya ia tidak peduli seperti apa buku yang hendak ia terbitkan, yang pasti perusahaannya harus terus menghasilkan keuntungan bahkan kalau bisa meningkatkannya. Karena itu, Vivian Grant selalu memberikan setumpuk buku mentah kepada staf editornya, dan tumpukan buku mentah itu terus bertambah, seakan-akan Vivian menyuruh para editornya untuk menggarap sebanyak mungkin buku tidak peduli apakah itu buku yang bagus atau tak layak dibaca.

“Apa kaubilang?” sergahnya ke telepon, memberi isyarat agar aku tetap menunggu. “Mari kita meluruskan satu hal, cecunguk tengik. Aku bukan jalang, aku ini si jalang nomor satu. Dan kalau kau tidak memberikan naskah yang pantas diterbitkan padaku Hari Kamis ini—ya, maksudku Kamis ini nanti—aku adalah si jalang yang akan memastikan setiap sen uang muka yang sudah kauterima kembali padaku. Capisce? Aku tidak peduli kalau ibumu hanya punya waktu hidup tiga jam lagi—” (hal. 225)

Ditambah lagi dengan kegemaran, bukan, rasanya bukan kegemaran, tapi keharusan, rasanya Vivian harus membentak untuk menyampaikan sesuatu kepada anak buahnya, saya sampai bisa merasakan sekejam apa bos macam Vivian Grant ini. Kalau dikaitkan dengan judul, baik asli maupun terjemahan, cukup nyambung, pembaca hanya akan penasaran mengenai si bos, maksudnya segalak apa sih si bos sampai-sampai dikatakan bahwa ia berasal dari neraka, itu jika si pembaca membaca buku terjemahannya. Sesungguhnya Vivian selalu membuat saya bertanya-tanya apakah jiwanya sedang terguncang atau semacamnya, bagaimana pula ia bisa mendapatkan pekerjaan jika ia segalak itu dan suka menyumpah-serapahi setiap orang yang menurutnya tidak becus bekerja. Pasti Vivian sering mengalami stress berat karena baginya orang-orang begitu menyebalkan.

“Sudah kusuruh kau lewat Lexingon!” bentak Vivian pada sopir, mencondongkan tubuh ke kursi depan Lincoln Town Car supaya bisa berhadapan dengan pria itu. Si sopir langsung menukik menuruti perintah Vivian, manuver tajam itu melemparkan Vivian dan aku ke sisi mobil.

“Keparat! Kau mau membunuhku, ya?!” teriak Vivian.

Kulihat sopir itu mengangkat sebelah alisnya di spion tengah. Gagasan itu mungkin pernah terlintas di kepalanya. (hal. 252)

Sementara itu tokoh utamanya, Claire Truman, well, sangat pasrah. Dengan segala pekerjaan yang dilimpahkan padanya, dan harus ia selesaikan dalam sekejap, ditambah dengan amukan bosnya yang tidak pernah ada habisnya, rasanya ajaib sekali jika Claire bisa bertahan selama satu tahun tanpa membolos. It feels like, she wants to prove everyone, that working for Viv Grant is the best thing, and that is the thing she always wanted and she will never let that go. Well, I’ll do the same if I were her. Hahaha. Perhaps.

“Sudahlah,” kataku sejenak kemudian, membenci diriku karena menyerah. “Aku bisa menangani keempat-empatnya, Vivian. Beritahu aku syarat-syarat yang ingin kautawarkan, dan aku akan mulai dari sana.” (hal. 238)

Oke, kembali ke Claire Truman. Tidak hanya selalu pasrah, tapi Claire Truman menampilkan sosok wanita karir yang lemah. Beyond weak, if I may say. Saya harus berpikir lebih dalam untuk menemukan sesuatu yang spesial dari diri Claire, pacar yang super kaya? Karirnya sebagai editor di penerbitan ternama? Itu saja sih, rasanya, nggak ada lagi hal yang benar-benar menonjol dari karakter Claire Truman. Tapi, bagaimanapun juga rasanya buku ini lebih ingin menceritakan ‘The Boss’ yang datang dari neraka. Padahal, kalau dilihat dari cover versi aslinya, Claire nampak seperti wanita yang benar-benar kuat. Tatapannya yang tajam seakan-akan ia benar-benar bisa menyelesaikan apapun, ia adalah gadis yang sangat kompeten, pokoknya seperti benar-benar berkata ‘Yeah, Man, Bring it on!’. Tapi ternyata ungkapan ‘Jangan menilai buku hanya dari sampulnya saja’, tidak selamanya salah dalam hidup saya.

139958Ini dia cover aslinya yang diterbitkan tahun 2007

Satu hal yang jelas, kalau para pembaca suka banget baca novel chicklit, pasti ketika membaca buku ini nyadar ada sesuatu yang hilang, padahal harusnya adegan itu penting loh kalo buat buku chicklit, rasanya harus ada di semua buku yang berlabel ‘chicklit’. Dan, ya, itu adalah sex scene-nya. Hubungan Claire dengan pacarnya yang kaya raya rasanya hambar banget, deh. Diceritakan di buku, kalo pacarnya Claire ini ganteng banget, dan kaya banget, tapi ia masih bekerja dan ia sibuk banget, sampai-sampai sering banget ‘menelantarkan’ Claire. Saya rasanya ingin membandingkan pacarnya Claire dengan pria sibuk macam Gideon Cross. Gideon yang berasal dari buku serial Crossfire juga merupakan pria yang ganteng banget, kaya banget, sibuk banget, tapi selalu punya waktu buat pacarnya. Saya jadi heran, emang pacarnya Claire yang sibuk banget sehingga ia nggak bisa melepaskan pekerjaannya begitu saja demi menyenangkan pacarnya barang sedetik, ataukah Gideon Cross yang sex-drive nya ketinggian. Entahlah, yang jelas menurut saya tidak adanya sex scene di buku ini semakin membuat hambar buku ini. Padahal di buku-buku chicklit lainnya, walaupun nggak banyak dan nggak sering muncul, tapi seenggaknya ada dan bisa bikin pembaca nggak bosan, walaupun hanya ditulis sepanjang satu paragraf aja, sih. Oke, cukup masalah ketidakhadiran sex scene-nya, saya jadi merasa saya berubah menjadi Vivian Grant yang terobsesi dengan buku-buku yang membahas masalah seks.

Buku tentang laki-laki bajingan dan seks menyimpang? Cocok sekali dengan yang diinginkan Vivian. Lebih dari satu agen pernah mengaku bahwa mereka mengirimkan proposal pada Vivian, dengan naskah yang bercerita tentang perempuan yang dizalimi dan laki-laki yang harus menjadi kambing hitam. Mereka tahu Vivian akan seratus persen mendukung para penulis semacam itu. Tambahkan sedikit seks menyimpang, dan kau akan mendapatkan formula favoritnya. (hal. 150)

Entah ya, apa yang sebenarnya saya harapkan dari buku ini, sebenarnya saya mengharapkan konflik yang lebih dalam dan lebih heboh sih. Sebenarnya, masalahnya ada banyak sih, ya, tapi entahlah ya, apa karena gaya berceritanya yang kelewat datar, atau seperti apa, jadi rasanya jalannya selow dan biasa-biasa saja. Hehehe, mungkin saya kelewat suka dengan buku-buku chicklit karangan Sophie Kinsella, jadi secara nggak sadar saya menganggap bahwa buku chicklit itu ya seperti yang ditulis oleh Sophie Kinsella.

No comments:

Post a Comment