Tuesday 15 September 2015

The Scorch Trials-James Dashner

maze-runner-scorch-trials1

cover-scorch-trials-bakar-depan-55dec7be12afdThe Scorch Trials oleh James Dashner

Mulai dibaca: 28 Agustus 2015

Selesai dibaca: 06 September 2015

Judul: The Scorch Trials

Penulis: James Dashner

Penerjemah: Meidyna Arrisandi

Penyunting: Nunung Wiyati

Penerbit: Mizan Fantasi

Tahun terbit: Januari 2012

Tebal:511 halaman

ISBN: 978-979-433-657-1

Bahasa: Indonesia

Format: Paperback

Harga: Rp. 58.650 (mizanstore)

Rating: 4/5

Thomas dan beberapa temannya yang berhasil kabur dari Maze akhirnya mendapatkan tempat perlindungan untuk mereka beristirahat dan menenangkan diri. Untuk sementara. Tapi ternyata lagi-lagi sebuah percobaan menanti untuk diselesaikan oleh mereka, demi mendapatkan obat penyembuh dari serangan Flare. Para Glader baru mengetahui bahwa Flare benar-benar membumi-hanguskan planet tempat tinggal mereka, manusia-manusia yang masih hidup rata-rata terjangkit oleh virus mematikan itu, menyebabkan penderitanya menjadi gila hingga berubah seperti zombie. Para Glader yang dijanjikan kesembuhan diharuskan melalui Scorch, sebuah tes lagi untuk mengetahui apakah mereka pantas diberi kesembuhan. Dimulai dari hilangnya Teresa dan malah digantikan oleh seorang bocah laki-laki, para Glader berjalan menyusuri padang gersang, menghadapi berbagai macam hal mengerikan seperti bola baja yang memakan kepala, badai pasir yang tak kenal ampun, para Crank yang selalu terobsesi dengan daging manusia, juga penghuni dari Maze lain yang lebih dikenal dengan Grup B. Sama dengan para Glader, Grup B juga sekelompok anak-anak yang berhasil kabur dari Maze lainnya, hanya saja anggotanya adalah anak-anak perempuan. Dan Grup B diberikan misi penting agar sembuh dari Flare, yaitu membunuh Thomas.

P_20150915_204026

Setelah sempat kecewa dengan film pertamanya yang terkesan kaku dan kurang banget efek tegang dan seremnya, dan buku pertamanya yang ternyata nggak lebih memuaskan ketimbang filmnya, semakin bikin saya kecewa berat dengan seri pertama ini. Versi buku yang seharusnya memberikan lebih banyak penjelasan kepada saya, justru membuat saya semakin mengerutkan dahi, penggambaran situasi yang menurut saya terlalu menumpuk membuat saya seperti tidak terikat kencang pada ceritanya. Yang bikin saya kecewa berat adalah perbedaan yang sangat jauh antara versi film dengan bukunya, memang kalau sebuah buku diangkat ke layar lebar tidak bisa dibikin semirip bukunya, tetapi yang penonton harapkan setidaknya perbedaan itu nggak terlalu besar. Dan sepertinya kekecawaan saya sedikit terobati dengan saya menyelesaikan buku yang kedua. Ada lebih banyak cerita yang menegangkan dan solusi yang sedikit cerdik dari tiap-tiap tokoh utama. Dan sekarang, saya pun juga tak sabar menonton versi filmnya di bioskop, walaupun dari trailer filmnya saya merasa lagi-lagi ada perbedaan dengan versi bukunya, saya berharap sutradara cukup cerdik sehingga tidak melencengkan ceritanya terlalu jauh dari bukunya.

Trailer The Scorch Trials

Jadi, Thomas dan kawan-kawan—atau yang lebih bisa dikatakan sebagai Para Glader—kembali diharuskan melewati sebuah ujian, yang melibatkan lebih banyak bahaya, hal-hal aneh, dan tentu saja musuh. Para Glader kembali mengerahkan segenap tenaganya demi mendapatkan obat yang dapat menyembuhkan mereka dari Flare. Ketika diberikan sebuah cerita semacam ini, di mana tokoh utamanya menghadapi sebuah maupun beberapa buah rintangan dan hambatan, yang saya harapkan adalah tokoh tersebut tidak hanya mengandalkan kekuatan ototnya dan kemampuannya berkelahi tetapi juga benar-benar mengerahkan kecerdikan dan kelihaiannya dalam menghadapi tantangan tersebut, dan tentu saja saya berharap Thomas dan Glader lainnya tidak hanya berusaha untuk menghabisi rintangan tersebut, tapi juga menemukan sebuah cara atau menggunakan kecerdikannya dalam menghentikan rintangan tersebut. Kelihaian dalam mengecoh musuh-musuhnya jelas masih belum terlalu digunakan oleh Thomas dan kawan-kawan, Thomas masih lebih mengandalkan kekuatan ototnya dalam menumpas musuh-musuhnya, kecepatan berlarinya, dan peruntungannya dalam bersembunyi, sehingga saya pun juga ikut lelah mengikuti Thomas dan kawan-kawan yang rasanya terus menerus berlari, tak henti-hentinya menebas senjata, dan cerita bahwa Thomas memiliki sedikit persediaan makanan dan minuman padahal arena yang harus mereka lalui adalah sebuah gurun dengan matahari yang ramah memberikan kalornya. Walaupun begitu, aksi baku hantam dan lari-larian Para Glader cukup seru, hadirnya musuh-musuh baru yang lebih sangat jelas meningkatkan ketegangan cerita secara signifikan. Selain lebih sangar dan terlihat sulit dikalahkan, jumlah masalah yang harus dihadapi oleh Para Glader tentu semakin banyak, sehingga tidak hanya Thomas  yang tidak mempunyai waktu untuk beristirahat sejenak tetapi pembaca pun rasanya juga tidak mempunyai waktu untuk menenangkan hati atau bahkan menarik napas, setelah masalah yang satu selesai selang beberapa paragraf pembaca kembali disuguhkan oleh masalah baru lagi. Well, sepertinya yang bikin buku ini lebih seru dari buku sebelumnya memang banyaknya masalah yang datang, sih, bukan caranya para Glader menghadapi masalah-masalah tersebut. Selain kemunculan musuh-musuh baru, ada juga tiga tokoh baru yang sebenarnya masih belum jelas apakah mereka kawan atau lawan, ummm plus dua puluh tokoh baru lagi, sih, karena masuknya anggota Grup B. Tetapi, kehadiran tokoh-tokoh baru ini rasanya tidak terlalu memberikan efek menegankan pada cerita, tokoh-tokoh baru ini rasanya seperti bunglon, mereka datang, memperkenalkan diri, and then simply get along with the Glader just like... that. Mereka nggak memberikan penjelasan apapun, atau cerita apapun, jadi rasanya tokoh-tokoh baru ini semacam nggak berguna gitu, karena nggak meningkatkan kengerian cerita. Yang ada, tokoh-tokoh baru ini rasanya malah membuat pembaca semakin penasaran dengan organisasi WICKED. Ditambah lagi dengan Thomas yang perlahan-lahan mendapatkan kembali ingatannya, ia mulai memimpikan dirinya dengan Teresa ataupun dirinya dengan orang tuanya, hal itu semakin membuat saya bertanya-tanya mengapa ingatan para Glader harus dihapus? Seharusnya buku ini memberikan saya setidaknya secuil penjelasan mengenai apa yang sebenarnya mereka lakukan, apa tujuannya, dan sebagainya, ternyata daripada memberikan penjelasan lebih awal sepertinya penulis ingin membuat rasa penasaran pembaca semakin dalam lalu memberikan kejutan di—semoga—buku terakhir.

Walaupun begitu, tetap harus saya akui bahwa para Glader jelas lebih cerdik daripada ketika berada di Maze. Keberanian mereka demi mendapatkan kesembuhan jelas jauh lebih tinggi daripada di seri sebelumnya, rasanya seakan membaca bahwa setiap tokoh sedang mengalami pubertas sehingga tumbuh menjadi remaja yang sedikit lebih dewasa, kemampuan mereka dalam memutuskan suatu perkara dalam sebuah diskusi maupun negosiasi semakin menunjukkan bahwa para Glader semakin cerdik dan lihai. Selain itu ucapan yang jenaka dan bahkan terkadang terdengar seperti menyindir yang diucapkan oleh tokoh-tokoh utama menjadikan buku ini lebih segar, terlihat sekali jadinya bahwa para Glader semakin bertambah dewasa sehingga mereka menjadi pribadi yang ‘pinter ngomong’. Di bagian ketika Thomas disekap oleh Kelompok B, di mana Thomas juga melemparkan semacam lelucon, saya melihat seakan-akan Thomas seperti Joker dari serial Batman, sifatnya yang tenang ketika diculik lalu senang berkata dalam ucapan yang menyindir menjadikan Thomas seorang laki-laki remaja yang jenaka di buku ini, well, sebenarnya saya membayangkan Thomas yang jenaka lebih seperti Dr. Hannibal Lecter yang selalu menyindir dengan kalem.

“Selamat malam,” katanya dengan kegairahan palsu,mimpi yang aneh itu masih segar di dalam ingatannya. “Ada yang bisa kubantu, Gadis-gadis?” (hal. 392)

Walaupun begitu saya masih belum memutuskan mengenai Teresa, apakah ia menjadi semakin dewasa atau malah menjadi semakin kekanakan, karena di buku ini Teresa seakan-akan berubah menjadi gadis ABG rumahan yang labil banget, sifatnya membingungkan banyak orang termasuk saya, bahkan saya pun belum menentukan dari buku ini sebenarnya Teresa berada di pihak yang mana, karena di akhir cerita sepertinya ia membantu Thomas mencapai Surga yang Aman, tapi ia juga melaksanakan perintah WICKED dengan berusaha membunuh Thomas, lalu ia mencium Thomas dengan muka kebingungan, tapi lalu ia mencium cowok lainnya dengan ekspresi riang gembira, benar-benar membingungkan. Sementara itu, sepertinya pubertas berjalan dengan benar di diri Minho dan Newt, Minho menunjukkan bahwa ia layak dan mampun menjadi pemimpin, mampu memimpin rombongan pengikutnya dalam melalui gurun kering hingga ke surga yang aman, tetapi tak kehilangan selera humornya dan ucapannya yang selalu sinis dan penuh dengan sindiran.

new-scorch-trials-posters-before-trailer-premiere-01Kangen banget sama Minho :3 #TeamMinho

Sementara Newt, walaupun di buku pertama ia adalah wakil ketua di Glade, yang berarti menjadikan posisinya lebih tinggi daripada Minho, ia berlapang dada ketika yang dipilih untuk memimpin rombongan adalah Minho dan bukan dirinya. Tokoh lainnya tak terlalu banyak disorot, tetapi sepertinya tokoh Frypan diberikan porsi tampil lebih banyak dibandingkan di buku sebelumnya, selain itu tokoh baru bernama Brenda sepertinya bisa menjadi seorang tokoh kunci karena ia seperti memberikan secuil petunjuk pada Thomas di akhir kisah, walaupun begitu masih sulit bagiku untuk menentukan apakah Brenda adalah pihak kawan atau malah lawan.

Tom?

Kau... siapa kau? Thomas akhirnya bertanya, takut mendengar jawabannya.

Hening sejenak sebelum gadis itu menjawab.

Ini aku, Tom. Brenda. Segala sesuatunya akan menjadi semakin buruk bagimu.

Thomas menjerit sebelum tahu apa yang dia lakukan. Dia menjerit, menjerit, dan menjerit sampai akhirnya terbangun. (hal. 504)

Yang saya sukai dari cerita dystopia ini adalah, bahwa mereka cukup menjelaskan mengapa bumi di masa depan menjadi tempat yang mengerikan, mereka memberikan penjelasan yang cukup bahwa matahari semakin tak tertahankan panasnya, sehingga memunculkan virus-virus baru yang muncul sehingga mereka harus bla-bla-bla, yang sebenarnya saya masih belum tahu. Berbeda dengan dystopia trilogi Divergent, sebenarnya saya belum mendapatkan jawaban mengapa bumi nantinya harus dibagi menjadi lima faksi, sebenarnya apa yang terjadi sehingga akhirnya manusia harus dikelompokkan seperti itu. Atau seperti cerita Hunger Games, saya juga nggak mendapatkan cerita mengenai awal mula terbentuknya pemerintahan yang semengerikan itu. Dibanding dengan teman-temannya itu dystopia ini lebih masuk akal.

Secara keseluruhan, buku kedua memang lebih memuaskan dibanding buku sebelumnya. Lebih seru, lebih menegangkan, lebih dewasa, dan lebih jenaka. Sudah nggak sabar nih buat menonton filmnya, walaupun dilihat dari trailernya sepertinya ceritanya bakalan melenceng dari versi bukunya, semoga saja sutradara film ini cukup cerdik dalam mengambil potongan-potongan penting yang ada dalam buku, semoga nggak ada lagi cerita yang melenceng terlalu jauh dari versi bukunya.

No comments:

Post a Comment